Biografi Al-Qusyairy – Tokoh Tasawwuf
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al
Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin
Muhammad.
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur,
sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad
pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan
penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami
kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru
asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al
Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus
disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati
wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair
adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin
Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa
cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas
mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut
berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai
keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang
memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari
Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki
desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa.
Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi’y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang
dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
5. Gelar Kehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan,
seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi
bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan
sebagainya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai
penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di
dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari
arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah
seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat
beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah
Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin
Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada
Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda
dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al
Qusyairy mengatakan, bahwa beliau lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun
376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di
Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika
itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya,
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka
pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz
asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir
sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian
pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat
keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan
beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan
rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari
ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa
meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota
Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan
peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampai di Naisabur,
dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury,
yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika
mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq
sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq
mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan
semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya,
memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan
panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Kepandaian Berkuda
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang
kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata
sangat mengagumkan.
Perkawinan
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah
putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah
adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan
tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis.
Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 – 412 H./1014-1021 M.
Putra putrinya
Al Qusyairy berputra enam orang dan
seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu
Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an
Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena
berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur,
5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang
putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul
As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Menunaikan Haji
Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban
haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad
Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama
tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384
458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama
ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Kudanya
Dikisahkan, di antara salah satu dari
sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah
dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh
meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda
itu pun mati.
Belajar dan Mengajar
Para Guru Beliau
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh
al Qusyairy tercatat:
1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury,
yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul
Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.),
seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr
ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih
kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin
Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu
Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin
Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di
Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup
besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah
al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada
syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya
al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad
al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di
Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin;
Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar
mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
1. Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar
bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
2. Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula
sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
3. Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang
benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf
Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul
Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang
dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap
teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa
Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal
sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang
pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang
berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.
Forum Imla’
Asy Syaikh al Qusyairy dikenal sebagai
imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada
tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum
tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455
H./1063 M.
Forum Mudzakarah
Asy Syaikh al Qusyairy juga sebagai
pemuka forum forum mudzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa
ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462
H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya.
“Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu
meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis
bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti
terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib
dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian
berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang
terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan,
menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya
Tajudddin as-Subky.
Murid- murid Beliau yang Terkenal
1. Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit
al-Khatib al-Baghdady (392-463 H./1002 1072 M.).
2. Abu Ibrahim – Ismail bin Husain
al-Husainy (wafat 531 H./1137 M.)
3. Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim
al-Ghazy an-Naisabury.
4. Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin
Imran al-Anshary (wafat 512 H/1018 M.)
5. Abu Bakr – Syah bin Ahmad
asy-Syadiyakhy.
6. Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin
Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah
al-Bahity.
8. Abu Muhammad – Abdullah bin
Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
9. Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl
bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh
asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
11. Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin
Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
12. Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin
Ali al-Khuzaimy.
Cobaan yang Menghadang
Ketika popularitasnya di Naisabur semakin
meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan
dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut
menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar
propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan
kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar
berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana
yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran,
sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy
rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam
pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy,
dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri
itu.
Akhirnya para murid muridnya
bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan
majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya,
bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam
keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni
tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di sela-sela masa yang getir itu, beliau pergi
ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada
waktu-waktu luangnya, beliau pergi ke Thus.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis
berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali
bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di
kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan
murid muridnya bertambah banyak.
0 komentar:
Posting Komentar